Pengusaha dan kelalaian, apa hubungannya? Bukankah
setiap aktivitas dalam hidup manusia berpotensi untuk melalaikan mereka
dari mengingat Allah Ta’ala? Lantas mengapa sifat lalai
seolah-olah diidentikkan dengan dunia usaha dan bisnis? Bukankah dokter,
pegawai, buruh bahkan pengangguran pun bisa lalai?
Jawabannya: memang benar bahwa semua aktivitas
manusia berpotensi untuk melalaikan mereka dari mengingat Allah Ta’ala,
akan tetapi, tahukah anda bahwa sebagian dari para ulama menyifati
dunia bisnis dan jual-beli sebagai urusan dunia yang paling besar
pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari
mengingat Allah Ta’ala1?
Inilah yang terungkap dalam makna firman Allah Ta’ala:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ
تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ}
“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada
saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).
Imam asy-Syaukani berkata: “(Dalam ayat ini) Allah
menyebutkan perdagangan secara khusus karena inilah (aktivitas) yang
paling besar (potensinya) dalam melalaikan manusia dari mengingat Allah2.
Hal ini dikarenakan aktivitas usaha perdagangan
berhubungan dengan harta benda dan keuntungan duniawi, yang tentu saja
ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang
tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal
fitnah tersebut.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»
“Sesungguhnya
pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan
fitnah (pada) umatku adalah harta”.
Maksudnya:
menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang
merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia
dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat,
sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ
وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan
fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS.
At-Taghabun:15)3.
Oleh karena itu, pasar dan tempat berjual-beli yang
merupakan tempat kesibukan mengurus harta perniagaan adalah tempat
berkumpulnya setan dan bala tentaranya, yang selalu berusaha untuk
membuat manusia lalai dan lupa mengingat Allah Ta’ala4.
Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam: “Tempat yang paling dicintai Allah adalah mesjid dan
yang paling dibenci-Nya adalah pasar”5.
Berikut ini, beberapa petunjuk dalam Islam bagi
seorang pedagang dan pengusaha untuk memudahkan dirinya terhindar dari
kelalaian dan tipu daya setan, dengan taufik dari Allah Ta’ala:
- Selalu berdoa kepada Allah Ta’ala memohon keteguhan iman dan penjagaan dari segala bentuk fitnah yang merusak agama. Di antara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah: “Ya (Allah) Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”6.
- Berusaha menjaga batasan-batasan syariat Allah Ta’ala dalam
semua aktivitas yang dilakukan,baik dalam urusan agama, jual-beli,
pergaulan maupun urusan dunia lainnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu (dari segala keburukan), jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu)”7. - Berzikir kepada Allah Ta’ala dengan hati dan lisan sebelum
masuk pasar dan tempat berjual-beli lainnya, serta selalu mengingat-Nya,
agar terhindar dari kelalaian.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk pasar kemudian membaca (zikir): Tiada sembahan yang benar kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah yang maha hidup dan tidak pernah mati, ditangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia maha mampu atas segala sesuatu”, maka allah akan menuliskan baginya satu juta kebaikan, menghapuskan darinya satu juta kesalahan, dan meninggikannya satu juta derajat – dalam riwayat lain: dan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga – ”8.
Imam ath-Thiibi berkata: “Barangsiapa yang berzikir kepada Allah (ketika berada) di pasar maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah Ta’ala berfirman tentang keutamaan mereka:{رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ، لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS an-Nuur:37-38)9. - Bersegera melaksanakan shalat lima waktu ketika adzan
dikumandangkan dan meninggalkan segala kesibukan jual-beli dan urusan
dunia lainnya.
Imam al-Qurthubi berkata: “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Ta’ala) dalam ayat tersebut (di atas)”10. - Berusaha meluangkan waktu untuk melaksanakan shalat dhuha,
terutama di saat-saat manusia sedang lalai dan disibukkan dengan urusan
jual beli. Inilah yang disebut sebagai shalat al-Awwaabiin, yaitu
orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah Ta’ala dengan
selalu mentaati-Nya dan bertaubat dari perbuatan dosa11.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Shalat para al-Awwaabiin (di waktu dhuha) adalah ketika anak-anak onta kepanasan (karena cahaya matahari)”12.
Shalat pada waktu ini dinamakan shalatnya para al-Awwaabiin karena pada waktu ini biasanya manusia sedang disibukkan dengan urusan dan perniagaan dunia, akan tetapi hamba-hamba Allah Ta’ala yang shaleh dan selalu kembali kepada-Nya memanfaatkan waktu ini untuk beribadah dan berzikir kepada Allah Ta’ala13.
Demikianlah dan semoga bermanfaat bagi para pembaca
dengan izin Allah Ta’ala, amiin.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر
دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 15 Rabi’uts tsani 1434
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
1
Lihat kitab tafsir “Fathul Qadiir” (4/52).
2
Ibid.
3
Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).
4
Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/272) dan “Faidhul Qadiir”
(1/170).
5
HSR Muslim (no. 671).
6
HR at-Tirmidzi (4/448), Ibnu Majah (no. 3834) dan Ahmad (3/112),
dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
7
HR at-Tirmidzi (4/667) dan Ahmad (1/293), dinyatakan shahih oleh Imam
at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
8
HR at-Tirmidzi (no. 3428 dan 3429), Ibnu Majah (no. 2235), ad-Daarimi
(no. 2692) dan al-Hakim (no. 1974) dari dua jalur yang saling
menguatkan. Dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri (dinukil oleh
al-mubarakfuri dalam kitab “’Aunul Ma’bud” 9/273) dan syaikh
al-Albani dalam kitab “Shahihul Jaami’” (no. 6231).
9
Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab “Tuhfatul Ahwadzi”
(9/273).
10
Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (5/156).
11
Lihat “Syarhu shahih Muslim” (6/30) dan “Bahjatun
naazhiriin” (2/310).
12
HSR Muslim (no. 748) dan Ibnu Hibban (no. 2539) dari Zaid bin Arqam .
13
Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/445).
0 komentar:
Posting Komentar