A. Tafsir Al Qur’an
1. Pengertian Tafsir
a. Pengertian Bahasa
Kata Tafsir terambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian.
Tafsir dalam pengertian bahasa berarti "al-idhah" dengan konotasi arti “menerangkan dan menyatakan”, “membuka dan melahirkan”, “menyingkap sesuatu yang tertutup”, ”menyingkapkan
maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik”.
b. Pengertian Istilah
1)
Menurut As
Shahibut Taujih, Asy Syikh al Jazairi :
Adalah mensyarahkan
lafadh yang sukar dipahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan
maksud.
2)
Menurut Prof. Dr. T.M.
Hasbi Ash Shiddieqy
Adalah mengisyarahkan Al Qur’an, menerangkan makna
dan menjelaskan apa yang dikehendaki oleh nash atau isyarahnya atau
khulashohnya, menerangkan makna-makna Al Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya.
Jadi,
Tafsir adalah menjelaskan pengertian
lafadh-lafadh dan kandunganya, gaya bahasa, peraturan-peraturan, hukum-hukum
dan hikmah yang dikandungnya serta hikmah-hikmahnya yang dikandungnya.
2. Pengertian Al Qur’an
a. Pengertian Bahasa
Secara kebahasaan (etimologi), kata “Al Qur’an” adalah bentuk isim masdar dari kata “qa-ra-a”
yang berarti membaca yaitu kata “qur-a-nan” yang berarti
yang dibaca. Demikian pendapat Imam Abu Hasan Ali bin Hazim atau
Imam Lehyani (w: 215 H).
Penambahan huruf alif dan lam atau al, pada awal kata menunjuk pada kekhusususan
tentang sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan yang diyakini sebagai wahyu Allah
SWT. Sedang penambahan huruf alif dan
nun pada akhir kata menunjuk pada makna suatu bacaan yang paling
sempurna.
b. Pengertian Istilah
1) Menurut Muhammad Ali Al Shobuni
Firman Allah SWT yang mengandung mukjizat yang
diturunkan kepada nabi dan rosul terakhir dengan perantaraan Jibril AS yang
tertulis dalam mushaf dan sampai kepada kita dengan mutawattir.
2)
Menurut Khudhari Beik
Firman Allah SWT yang berbahasa arab yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW, untuk dipahami dan selalu diingat, disampaikan secara
mutawattir (bersambung), ditulis dalam satu mushaf yang diawali dengan surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
3)
Menurut Syeikh Muhammad Abduh
Bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf yang
terpelihara dalam hafalan-hafalan kaum muslimin yang berniat untuk
memeliharanya.
3. Pengertian Tafsir Al
Qur’an
Tafsir
Al Qur’an adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah
yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan tentang pengertian
lafadh-lafadhnya, pengertian yang terkandung dalam gaya bahasanya, hukum-hukum
yang dikandungnya serta hikmah-hikmah yang dikandungnya.
B. Terjemah
1. Pengertian Tarjemah
a. Pengertian Bahasa
Terjemahan adalah interpretasi
makna suatu teks dalam suatu bahasa ("teks sumber")
dan penghasilan teks yang merupakan padanan dalam bahasa lain ("teks
sasaran" atau "terjemahan") yang mengkomunikasikan pesan serupa.
b. Pengertian Istilah
Secara istilah bermakna mengungkapkan
perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain. Atau memindahkan suatu
perkataan ke dalam bahasa lain, dengan tidak merubah semua kandungan makna dan
maksud awal. Jadi, makna terjemah menurut adat adalah menjelaskan makna suatu
perkataan ke dalam bahasa yang lainnya, dengan tidak merubah semua kandungan
makna dan maksud awal.
2. Macam-Macam Terjemah
a. Harfiah
Menerjemahkan Al Qur’an secara harfiah (letterleijt) menurut kebanyakan ulama
merupakan hal yang mustahil mengingat penerjemahan semacam ini memerlukan
beberapa persyaratan yang tidak mungkin dapat direalisasikan, yaitu:
1) Adanya mufradat (sinonim)
perhurufnya antara bahasa penerjemah dan bahasa yang akan diterjemahkan
2) Adanya tanda baca
yang sama pada bahasa penerjemah terhadap tanda baca pada bahasa yang
diterjemahkan atau paling tidak mirip
3) Didalam susunan
katanya harus ada kesamaan antara kedua bahasa baik dalam kalimat, sifat atau
pun tambahan-tambahannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa
menerjemahkan secara harfiah bisa terealisasi pada sebagian ayat atau
semisalnya akan tetapi sekali pun demikian ia tetap diharamkan sebab tidak
mungkin berfungsi menjadi makna yang sempurna apalagi memiliki pengaruh
terhadap jiwa sebagaimana pengaruh Al Qur’an dalam bahasa Arab yang begitu
jelas. Karena itu, tidak perlu menggunakan cara seperti ini karena sudah cukup
dengan penerjemahan secara maknanya saja.
b. Maknawiyah atau
Tafsiriyah
Adalah
mengungkapkan makna perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain
tanpa merubah mufrodat (kosa kata) dan tartib (susunan kata). Atau menerangkan sebuah kalimat dan
menjelaskan artinya dengan bahasa yang berbeda, tanpa mempertahankan susunan
dan urutan teks aslinya, dan juga tidak mempertahankan semua Ma’na yang
terkandung dan dikehendaki dari naskah aslinya.
Cara praktek terjemahan semacam
ini, pertama-tama dengan memahami makna yang dikehendaki dari naskah aslinya,
kemudian kita ungkapkan pemahaman tersebut, dengan gaya bahasa terjemah yang
kita pakai, sesuai dengan tujuan dari makna tersebut.
Penerjemahan secara makna
terhadap Al Qur’an pada dasarnya adalah dibolehkan karena tidak ada
larangannya, bahkan terkadang bisa jadi wajib ketika ia merupakan satu-satunya
sarana untuk menyampaikan Al Qur’an dan al-Islam kepada selain bangsa Arab,
sebab menyampaikan hal itu adalah wajib hukumnya, maka sesuai kaidah, ‘Maa laa yatimmul waajib illa bihii fa
huwa waajib’ (suatu tindakan hukumnya wajib jika menjadi syarat terpenuhinya
suatu kewajiban)
1)
2)
3. Syarat-syarat Terjemah
a.
Bahwa terjemahan itu tidak boleh dijadikan sebagai
pengganti Al Qur’an dengan cukup dengannya tanpa Al Qur'an. Berdasarkan hal
ini, maka harus ditulis dulu teks Al Qur’an dalam bahasa Arabnya, kemudian di
sampingnya teks terjemahan tersebut agar menjadi semacam tafsir terhadapnya.
b.
Hendaknya penerjemahnya adalah orang yang mengetahui betul
arahan-arahan lafazh di dalam kedua bahasa tersebut dan hal-hal yang dituntut
di dalam redaksinya.
c.
Hendaknya penerjemahnya adalah orang yang mengetahui benar
makna-makna lafazh-lafazh syari’at di dalam Al Qur’an. Didalam penerjemahan Al
Qur’an al-Karim, hanya orang-orang yang amanah saja yang boleh diterima, yaitu
seorang Muslim yang lurus di dalam agamanya.
C. Ilmu Tafsir
1. Pengertian Ilmu Tafsir
a.
Menurut Prof. DR.
Syaichul Hadipermono
ilmu tentang
turunnya ayat-ayat Al Qur’an, surat, cerita-cerita, isyarat-isyarat yang
terdapat dalam ayat, tertib ayat Makiyah dan Madaniyah, ayat yang Muhkam dan
Mutasyabihat, Nasih dan mansukh, khos dan am, mutlaq dan muqoyyad, mujmal dan
mufassir.
b.
Menurut DR. Rosihon
Anwar
Ilmu yang dengannya diketahui maksud kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, makna-makna Al Qur’an
dapat dijelaskan serta ukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui
2. Manfaat Ilmu Tafsir
a.
Mengetahui makna
kata-kata dalam Al Qur'an
b.
Menjelaskan maksud
setiap ayat
c.
Menyingkap hukum dan hikmah
yang dikandung Al Qur'an
d.
Menyampaikan pembaca
kepada maksud yang diinginkan oleh Syari` (pembuat syari`at), yaitu Allah SWT,
agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat
3. Syarat Menafsirkan Al
Qur’an
a.
Berakidah yang benar,
karena akidah sangat pengaruh dalam menafsirkan Al Qur'an
b.
Tidak dengan hawa nafsu
semata, karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri
tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya
untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
c.
Mengikuti urut-urutan
dalam menafsirkan Al Qur’an seperti penafsiran dengan Al Qur'an, kemudian
as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
d.
Faham bahasa arab dan
perangkat-perangkatnya, karena Al Qur’an turun dengan bahasa Arab. Mujahid
berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
berbicara tentang Al Qur'an jikalau tidak menguasai bahasa Arab“.
e.
memiliki pemahaman yang
mendalam agar bisa mengarahkan suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai
dengan nusus syari’ah
f.
Faham dengan
pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan Al Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang
lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam Al Qur'an), Akidah
yang benar, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam,
mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh,
hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
4. Sumber Penafsiran Al
Qur’an
a. Tafsîr bil Ma’tsûr
Kata
al-ma’tsur adalah isim
maf’ul (obyek) dari kata atsara,
ya’tsiru atau yuastiru, atsran,
wa-atsaratan yang secara bahasa (etimlogy)
berarti menyebutkan atau naqal
(mengutip), memuliakan (menghormati). Al-Atsara
juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana pada
hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang lain atau masa
lalu.
Dalam
pengertian istilah (terminology),
menurut DR. Rosihon Anwar, Tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan
pada penjelasan Al Qur’an itu sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat
melalui ijtihadnya, dan pendapat (aqwal) tabi’in.
Tafsir
bil al-ma’tsur yang dikenal juga dengan Tafsir bi al-riwayah, Tafsir bi al-manqul.
Dengan
kata lain al-Tafsir bil al-ma’tsur adalah penjelasan terhadap ayat-ayat Al
Qur’an dengan mempergunakan; 1) ayat-ayat Al Qur’an 2) riwayat yang berasal
dari Rasulillah SAW 3)riwayat dari sahabat
4) riwayat dari para tabi’in menurut sebahagian ulama.
Tafsir bi al-ma’tsur
tumbuh dan berkembang dalam dua bentuk tahapannya: yang pertama adalah tahapan
periwayatan (lisan), dan yang kedua adalah tahapan dalam bentuk pentadwinan
(pembukuan).
1)
Masa periwayatan
(lisan)
Bahwa maksud atau tujuan yang
terkandung dalam ayat-ayat Al Qur’an dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah sendiri sebagai penerima wahyu menjelaskan maksud Al Qur’an kepada
para sahabat yang kemudian menyebarkannya kepada para sahabat lain yang tidak
hadir mengikuti majlis Nabi SAW.
2)
Masa pembukuan (tadwin)
Bahwa pada masa tabi’in Tafsir bi al-ma’tsur mulai berkembang dalam bentuk pentadwinan
(pembukuan), yakni pengumpulan terhadap riwayat-riwayat yang berkenaan dengan
penjelasan ayat-ayat Al Qur’an. Hanya saja masih menyatu dengan yang lain,
sampai pada periode ini Tafsir belum mempunyai bentuk yang spesifik.
Tokoh Tafsir dari kalangan sahabat
dapat disebutkan seperti: Abdullah ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn
Mas’ud, Abu Bakar, Aisyah binti Abu Bakar, Zaid ibn Tsabit dan lain-lain.
Sedangkan tokoh Tafsir dari tabi’in dapat disebutkan seperti: Mujahid, Atha ibn
Rabah, Ikrimah, Sa’id ibn Jubir, Zaid bin Aslam, Qatadah, Hasan Al-Bashri dan
lain-lain.
Diantara
kitab-kitab yang dipandang menempuh corak Tafsir
bi al-ma’tsur adalah sebagai
berikut:
1)
Tafsir Ibn Abbas
2)
Tafsir Ibn ‘Uyainah
3)
Jami’
al-Bayan fi al-Tafsir Al Qur’ana karya Ibn Jarir Ath-Thabari (w.
310/923).
4)
Anwar
al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 774/1286).
5)
Al-Dur
al-Mansur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al-Sayuthi
(w.911/1505).
6)
Tanwi
al-Miqbas fi al-Tafsiar Ibnu Abbas karya Fairud Zabadi (w.817/1414)
7)
Tafsir
Al Qur’an al Azhim karya Abil Fida’ Ibnu Katsir
(w.774/1373)
Kelemahan Tafsir
bil-ma’tsur
1)
Banyak ditemukan
riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan
merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2)
Banyak ditemukan
usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang
dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
3)
Tercampur aduknya
riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
4)
Banyak ditemukan
riwayat Isra’iliyyat yang mengandung
dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
b. Tafsîr bil Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran,
pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bil-ra’yi
adalah penafsiran Al Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir.
Tafsir bir-ra’yi
bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi
tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab
yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab,
dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada
masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan
peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang
pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya
hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat Al Qur’an.
Dengan
demikian, tafsir bir-ra’yi adalah
tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat Al Qur’an melalui pemahaman yang
ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti
bahasa dan berbagai peristiwa.
Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
1)
Tafsir Abu ‘Ali
al-Juba’i
2)
Tafsir
az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi
Gawamidit Tanzil wa uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
3)
Tafsir Fakhruddin
ar-Razi, Mafatihul Ghaib
4)
Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
5)
Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
6)
Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
7)
Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
8)
Jalaluddin
al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir
al-Jalalain.
5. Metode Penafsiran Al
Qur’an
Metode tafsir Al
Qur’an adalah
suatu cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan
Allah di dalam ayat-ayat Al Qur’an atau lafazh-lafazh yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad
s.a.w.
M. Quraish Shihab, dalam bukunya “Membumikan Al
Qur’an”,
membagi tafsir dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsûr dan tafsir yang menggunakan metode penalaran
yang terdiri dari metode tahlîliy
dan maudhû’iy.
Al-Farmawi membagi tafsir dari segi
metodenya menjadi empat bagian yaitu: metode tahlîliy,
ijmâliy, muqâran dan maudhû’iy.
sedangkan metode tahlîliy dibagi menjadi
beberapa corak tafsir yaitu: at-Tafsîr bi
al-Ma’tsûr, at-Tafsîr bi
al-Ra’yi, at-Tafsîr ash-Shûfiy,
at-Tafsîr al-Fiqhiy, at-Tafsîr al-Falsafiy, at-Tafsîr
al-‘Ilmiy, at-Tafsîr al-Adabiy
wa al-Ijtimâ’iy.
a.
Metode Tahlîliy
Metode
Tafsir Tahlîliy
adalah suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al Qur’an
dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai
urutan bacaan yang terdapat di dalam Al Qur’an Mushaf Utsmani.
Penafsir
memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munâsabah
(korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu
sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab
al-nuzûl (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang
berasal dari Rasulullah s.a.w., sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang
bercampur-baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh
latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan
kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash (teks) Al Qur’an tersebut.
Diantara kitab-kitab tafsir yang
menggunakan metode ini adalah: Tafsîr al-Qurân
al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr’, Tafsîr al-Munîr
karya Syaikh Nawawiy al-Bantaniy. Ada yang ditulis dengan sangat panjang,
seperti kitab tafsir karya al-Alusi, Fakhr al-Din ar-Razi, dan Ibn Jarir
ath-Thabari; ada yang sedang, seperti kitab Tafsir al-Baidhawi dan
an-Naisaburi; dan ada pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat,
seperti kitab Tafsîr al-Jalâlaiyn karya
Jalal ad-Din Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli dan kitab Tafsir yang ditulis
Muhammad Farid Wajdi.
1)
Kelebihan Tafsir Metode
Tahlily
a)
dapat mengetahui
dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau
surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat dalam mushaf
b)
mudah mengetahui
relevansi/munâsabah antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat
lainnya
c)
memungkinkan untuk
dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang
satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan
sama atau hampir sama
d)
mengandung banyak
aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain-lain
2)
Kelemahan Tafsir Metode
Tahlily
b)
faktor subjektivitas
tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka
membenarkan pendapatnya
c)
terkesan adanya
penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang
sama
d)
masuknya
pemikiran isrâîliyyât
b.
Metode Ijmâliy
Metode Tafsir Ijmâliy
adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global. Didalam sistematika uraiannya, penafsir akan
membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushhaf;
kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Mufassir dengan metode ini, dalam
penyampaiannya, menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan
idiom yang mirip, bahkan sama dengan Al Qur’an. Sehingga pembacanya
merasakan seolah-olah Al Qur’an sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga
dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna
dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat
dan bagus.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al
Qur’an dengan
metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbâb al-nuzûl atau peristiwa yang melatar belakangi
turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadis-Hadis yang berhubungan dengannya.
Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan
tafsir al-Jalâlain terhadap 5 ayat
pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global
hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang alif lâm mîm , misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha
Tahu maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran hanya dikatakan: “Yang, dibacakan oleh Muhammad”. Begitu
seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam
beberapa baris saja..
Dalam kaitan ini, bagi para pemula atau
mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat,
maka tafsir yang menggunakan metode ijmâliy
ini sangat membantu dan tepat sekali untuk digunakan.
Diantara kitab-kitab Tafsir dengan metode ijmâliy adalah: Tafsîr al-Jalâlayn,
karya Jalal ad-Din as-Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli, Shafwah al-Bayân Lima’âni al-Qurân, karya Syeikh
Hasanain Muhammad Makhluf, Tafsîr al-Qurân
al-‘Azhîm, karya Ustadz Muhammad Farid Wajdiy, Tafsîr al-Wasîth, karya Tim Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar
Mesir.
1) Kelebihan
Tafsir metode Ijmali
a)
praktis dan mudah
dipahami
b)
bebas dari penafsiran
israiliyat
c)
akrab dengan bahasa
Al Qur’an
2) Kekurangan
Tafsir Metode Ijmali
a)
menjadikan petunjuk
Al Qur’an bersifat parsial
b)
Tidak mampu
mengantarkan pembaca untuk mendialogkan Al Qur’an dengan permasalahan sosial
maupun keilmuan yang aktual dan problematis
c. Metode Muqâran
Metode
Muqaran adalah mengemukakan
penafsiran ayat-ayat Al Qur’an yang
ditulis oleh sejumlah para mufassir. Disini seorang mufassir menghimpun
sejumlah ayat-ayat Al Qur’an ,
kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat
tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka itu mufassir dari
generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka itu at-tafsîr bi al-ma’tsûr maupun at-tafsîr bi al-Ra’yi.
Kemudian
para mufassir menjelaskan bahwa
diantara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang
dikuasainya. Ada diantara mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni
segi-segi i’râb, seperti Imam
az-Zarkasyi. Ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada
bidang balâghah, seperti ‘Abd
al-Qahhar al-Jurjaniy dalam kitab tafsirnya I’jâz
al-Qurân dan Abu Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna dalam kitab
tafsirnya al-Majâz, dimana ia memberi
perhatian pada penjelasan ilmu ma’âniy,
bayân, badî’,
haqîqah dan majâz.
Jadi
metode tafsir muqâran adalah menafsirkan
sekelompok ayat Al Qur’an dengan
cara membandingkan antar ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau
antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu
dari objek yang dibandingkan itu.
Objek
kajian tafsir dengan metode muqaran
dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:
1)
Perbandingan ayat Al
Qur’an dengan
ayat lain
Penafsiran
disebabkan perbedaan redaksi namun peristiwa yang dibicarakannya sama, di antaranya
yang terdapat dalam QS al-An’âm, 6: 151 dan QS al-Isrâ’, 17: 31;
“Katakanlah:
“Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
“Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezeki
kepada mereka dan juga kepadamu.“Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa
yang besar.”
Penafsiran
dengan redaksi yang hampir sama (mirip) dengan pembicaraan masalah yang
berbeda, di antaranya terdapat QS Âli ‘Imrân: 126 dan QS al-Anfâl, 8: 10,
“Dan Allah tidak
menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi
(kemenangan)-mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
“Dan Allah tidak
menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan
agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2) Perbandingan Ayat Al Qur’an dengan Hadis
Cara kerjanya adalah:
a)
menentukan nilai hadis
yang akan diperbandingkan dengan ayat Al Qur’an. Hadis itu haruslah shahih. Hadis dha’if
tidak diperbandingkan karena, disamping nilai otentisitasnya rendah, dia
justeru semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat Al Qur’an
b)
membandingkan dan
menganalisis pertentangan yang dijumpai di dalam kedua redaksi yaitu ayat
dengan hadis itu.
c)
membandingkan pendapat
para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dan hadis tersebut
Contohnya
adalah: perbedaan antara ayat Al Qur’an Surat an-Nahl, 16: 32 dengan hadis
riwayat (HR Ahmad
dari Abu Hurairah) di bawah ini:
“(yaitu) orang-orang
yang diwafatkan dalam Keadaan baik oleh para Malaikat dengan mengatakan (kepada
mereka): “Salâmun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang
telah kamu kerjakan.”
“Tidak akan masuk seorangpun diantara kamu ke
dalam surga disebabkan perbuatannya”. (HR Ahmad
dari Abu Hurairah)
Diantara
kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah
at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwîl, karya al-Iskafi yang terbatas pada
perbandingan antara ayat dengan ayat; Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qurân, karya al-Qurthubiy yang membandingkan penafsiran para
mufassir. Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm,
karya ‘Ali ash-Shabuniy’ Qur’an and its
Interpreters adalah satu karya tafsir yang lahir di zaman modern
ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyoub.
1)
Kelebihan Tafsir metode
muqaran
a)
membuka pintu untuk
selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain.
b)
tafsir dengan metode
muqaran ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat
tentang suatu ayat.
c)
dengan menggunakan
metode muqaran ini, maka mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan
hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
2)
Kekurangan Tafsir
metode muqaran
a)
penafsiran yang
menggunakan metode ini, tidak dapat diberikan kepada para pemula.
b)
metode muqâran
kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di
tengah masyarakat. hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan
perbandingan daripada pemecahan masalah.
c)
metode muqâran
terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan
oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. sebenarnya kesan
serupa itu tak perlu timbul bila mufassirnya kreatif.
d. Metode Maudhû’iy
Metode tafsir maudhû’iy juga disebut
dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang
mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik
masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat
tersebut.
Kemudian penafsir mulai memberikan
keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir
melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy,
dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan
analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk
menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan
baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.
Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-Maudhû’iy
secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu
karya tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
1)
memilih atau menetapkan
masalah Al Qur’an yang akan dikaji secara maudhû’iy
(tematik)
2)
melacak dan menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah
dan Madaniyyah
3)
menyusun ayat-ayat
tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan
mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.
4)
mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing
suratnya.
5)
menyusun tema bahasan
di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
6)
melengkapi pembahasan
dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi
semakin sempurna dan semakin jelas.
7)
mempelajari ayat-ayat
tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘âm dan khash,
antara yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak
kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh dan
mansûkh, sehingga semua ayat
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan
pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.
8)
menyusun kesimpulan
yang menggambarkan jawaban Al Qur’an terhadap masalah yang dibahas
Diantara kitab-kitab tafsir yang
menggunakan metode maudhu’iy ini
adalah: Al-Mar’ah fî al-Qurân dan Al-Insân fî al-Qurân al-Karîm karya Abbas Mahmud
al-Aqqad; Ar-Ribâ fî al-Qurân al-Karîm karya
Abu al-‘A’la al-Maududiy; Al-Washâyâ al-‘Asyr karya
Syaikh Mahmud Syalthut; Tema-tema Pokok Al
Qur’an karya Fazlur Rahman; dan Wawasan Al Qur’an
Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat karya M. Quraish
Shihab.
1)
Kelebebihan Tafsir
metode Maudhu’iy
a)
hasil tafsir maudhû’iy
memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis,
sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa Al
Qur’an hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
b)
sebagai jawaban
terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan
rasa kebanggaan terhadap Al Qur’an.
c)
studi terhadap
ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik
dalam merasakan fashâhah dan balâghah al-Qurân.
d)
kemungkinan untuk
mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
e)
tafsir maudhû’iy
lebih tuntas dalam membahas masalah.
2)
Kekurangan Tafsir
metode Maudhu’iy
a)
Mungkin melibatkan
pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.
b)
Tidak menafsirkan
segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang
menjadi topik pembahasan saja.
6. Karakteristik
Penafsiran Al Qur’an
a. Tafsîr ash-Shûfiy
Tafsir
shufi sebut juga dengan tafsir Isyari
yaitu penafsiran orang-orang sufi terhadap Al Qur’an yang bermula dari anggapan
bahwa riyadhah (latihan) rohani yang
dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di
mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik
ungkapan-ungkapan Al Qur’an dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari
limpahan ghaib
Adapun
kitab-kitab Tafsir Shufi adalah
Tafsir Al Qur’an Al-Azhim, karya Imam
At-Tusturi ( wafat. 289 H ), Haqa’iq
At-Tafsir, Karya Al-Allamah As-Sulami ( Wafat 412 H ), Aris Al-Bayan fi Haqa’iq Al Qur’an, Karya Imam Asy-Syirazi ( Wafat
283 H ).
b. Tafsîr al Fiqhiy
Adalah corak tafsir
yang lebih menitik beratkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan
cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar
pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir
Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an (ayat-ayat ahkam).
Tafsir fiqhi lebih
populer dengan sebutan tafsir ayat ahkam atau tafsir ahkam karena lebih
berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam alqur’an. Orang yang pertama berhak menyandang
predikat mufassir adalah Rasulullah SAW., kemudian para shahabat, diantara
mereka yang paling terkenal adalah sepuluh orang yaitu ; empat
khulafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit,
Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibnu Zubair.
Diantara Tafsir yang
becorak fiqh adalah Fathu al-Qadir karya Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Syaukani. Al-Qurthubiy dalam al-Jâmi'
li Ahkâm al-Qur'ân. 'Aliy al-Sayis dalam Tafsîr Âyât al-Ahkâm.
c. Tafsîr al Falsafiy
Pendekatan tafsir falsafi atau pendekatan
filosofis adalah upaya-upaya penafsiran dan pemaknaan terhadap ayat-ayat Al
Qur’an dengan menggunakan pendekatan filosofis.
Dalam faktanya, penafsiran ini dilakukan
setelah buku-buku filsafat yunani kuno banyak yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab.Selain itu juga dikarenakan banyak tokoh Islam yang berhasil
mempelajari dan mengembangkan teori filsafat Yunani kuno yang dirasakan serasi
dan sesuai dengan tuntunan agama, atau usaha-usaha penafsiran ayat tertentu
dalam Al Qur’an dengan menggunakan analisis disiplin Ilmu-Ilmu Filsafat.
Paradigma
atau asumsi-asumsi dasar mengenai tafsir falsafi adalah sebagai berikut :
1)
Ayat-ayat Al Qur’an
yang memiliki banyak kata atau ada kata-kata tertentu dalam Al Qur’an yang
dapat ditafsirkan dan kemungkinan besar sejalan dengan teori-teori filsafat.
2)
Ada sebagian orang yang
merasa kagum atas teori-teori filsafat dan merasa mampu untuk mengkompromikan
antara hikmah dan akidah dan antara filsafat dengan agama.
Kitab-kitab
Tafsir yang menggunakan Tafsir Falsafy, Mahmûd
ibn 'Umar al-Zamakhsyariy dalam Tafsîr
al-Kasyf 'an Haqâ'iq al-Tanzîl wa 'Uyûn al-Aqâwîl. Mahmûd ibn 'Abd Allâh
al-Alûsiy dalam Rûh al-Ma'âniy fiy Tafsîr
al-Qur'ân al-'Azhîm wa al-Sab' al-Matsâniy.
d. Tafsîr al ‘Ilmiy
Menurut
penelitian Imam Tanthawi, tidak kurang dari 750 ayat Al Qur’an berbicara dan
rnendorong manusia ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Ia heran mengapa mufassir
klasik hanya mengkaji dan menekankan banyak hal tentang ilmu fikih, yang tidak
lebih dari 500 ayat, dan lengah terhadap arahan Al Qur’an tentang ilmu
tumbuh-tumbuhan, biologi, ilmu hitung, fisika, sosial dan seterusnya. Inilah
salah satu hujjah mengapa Imam Tanthawi kemudian memunculkan satu corak tafsir
dengan pendekatan ilmiah sebagaimana tertuang dalam mukaddimah tafsirnya.
Menurut
Jansen dalam Diskursus Tafsir Al
Qur’an Modern, model penafsiran Imam
Tanthawi cukup mempengaruhi sebagian besar masyarakat ketika itu, bahkan hingga
kini, terutama mereka yang bergerak di bidang ilmu alam, fisika, biologi dan
sebagainya. Tetapi ada saja sekelompok orang yang justru menyerang
pendapat-pendapat Imam Tanthawi. Serangan-serangan itu dijawabnya dengan senyum
dan hujjah intelektual.
Kitab-kitab
Tafsir yang menggunakan Tafsir ‘ilmi:
1)
Al-Tafsir al-Kabir
oleh al-Imam Fakhrul al-Razi.
2)
Al-Jawahir fi Tafsir Al Qur’an al-Karim
oleh Tantawi Jauhari.
3)
Kasyfu al-Asrar al-Nuraniyyah Al
Qur’aniyyah oleh Muhammad bin Ahmad
al-Askandarani.
4)
Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyyah
oleh Hanafi Ahmad.
5)
Al Qur’an Yanbu’
al-‘Ulum wa al-‘Urfan oleh
‘Ali Fikri.
e. Tafsîr al Adabiy wa al Ijtimâ’iy
Kata
adabiy berasal dari kata adab yang
berarti: riyadhat al-nafs bi al-ta’lim wa
al-tahdzib ‘ala ma yanbaghiy (latihan jiwa mellui pengajara dan pendidikan
sebagaimana mestinya); kullu ma antajahu al-‘aql al-insaniy min dhurub
al-ma’rifat (segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal manusia berupa
macam-macam pengetahuan).
Menurut
M. Quraish Shihab, tafsir adabiy-ijtima’iy adalah tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksinya, kandungan-kandungan ayat dalam suatu redaksi yng indah dengan
penonjolan tujuan utama Al Qur’an, yaitu membawa petunjuk ilahiyyah ke
dalam kehidupan, kemudian ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan hukum-hukum alam
yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Kitab
tafsirnya yang terkenal adalah al-Manar
karya Rasyid Rihda. Tujuannya adalah menghindari penafsiran para ulama
sebelumnya yang seolah-olah menjadikan Al Qur’an terlepas dari akar kehidupan
manusia, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat. Dengan inovasi itu,
Abduh berusaha membumikan Al Qur’an sehingga tujuannya sebagai hidayat dan
rahmat bagi manusia dapat terrealisasi.
Corak
tafsir adabiy-ijtima’iy berusaha memahami nash-nash Al Qur’an dengan
cara:
1)
mengemukakan
ungkapan-ungkapan Al Qur’an secara teliti
2)
menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh Al Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik
3)
menghubungkan nash-nash
Al Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang
ada.
Prinsip-prinsip
pokok tafsir adabiy-ijtima’iy secara
operasional diperlihatkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam kitab
tafsirnya, prinsip-prinsip pokok itu adalah sebagai berikut:
1)
menganggap setiap surat
dalam Al Qur’an sebagai salah satu kesatuan yang serasi (munasabah)
2)
Al Qur’an bersifat
umum, representative, dan
berkelanjutan terus menerus sampai hari kiamat
3)
Al Qur’an merupakan
sumber pertama dan utama dari kaidah dan syariat Islam, sedangkan pendapat para
ulama tidak mutlak harus diikuti
4)
Memerangi taklid dan
membuka pintu ijtihad seluas-luasnya bagi yang telah memenuhi persyaratan yang
dituntut
5)
Berpegang pada kekuatan
akal dan bahkan menjadikannya sebagai penentu (tahkim) dalam memahami ayat-ayat
Al Qur’an
6)
Mendorong penelitian
dan penalaran serta menerapkan metode ilmiah dan hasil penemuan ilmu
pengetahuan di masanya untuk menafsirkan Al Qur’an
7)
Tidak merincikan
persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham oleh Al Qur’an
8)
Bersikap sangat
hati-hati terhadap tafsir bil ma’tsur
dan menolak secara tegas isra’iliyat
Menurut
al-Farmawiy, kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan corak tafsir
adabiy-ijtima’iy selain kitab al-Manar karya dari Rashid Risdha
(wafat 1345 H), adalah Tafsir al-Maraghiy karya Musthafa al Maraghiy
(wafat 1945 M) dan Tafsir Al Qur’an al-Karim karya Syekh Mahmud Syaltut
dan Sayyid Quthb dalam Fiy Zhilâl
al-Qur'ân.
7. Pengertian Takwil
Ta`wil
secara etimologi (lughawi) adalah al-ruju`,
al-tadbir, al-taqdir, atau al-tafsir.
Ta`wil bisa berarti "kembali, merenung, memperkirakan atau
menjelaskan". Seorang yang mengembalikan ucapan pada makna yang
dikandungnya, disebut muawwil (orang
yang melakukan ta`wil).
a. Menurut Ulama Salaf
Ta`wil
menurut ulama salaf, memiliki dua makna.
1)
interpretasi terhadap
lafadz dan menjelaskannya. Ta`wil
dalam pengertian ini sinonim dengan istilah tafsir.
2)
maksud ucapan itu
sendiri. Misalnya, bila redaksi kalam adalah anjuran, maka ta`wilnya adalah perbuatan yang dianjurkan. Jika menggunakan
redaksi khabar, maka ta`wilnya adalah apa yang diberitakan
tersebut, dan begitu seterusnya.
b. Menurut Ulama Khalaf
Mengarahkan lafazh dari maknanya yang
lebih unggul pada makna yang samar (lemah) karena ada dalil akan hal itu. Atau
memberi makna lafazh bukan dengan makna yang lebih jelas. Seperti kata "yad/ tangan" dalam firman Allah,
"Yad Allah fauqa aydihim".
Kata “yad” memiliki dua kemungkinan
makna, yaitu anggota tangan atau kekuasaan. Dalam firman Allah diatas, karena
kemahasucian-Nya, maka “yad”
diartikan kekuasaan bukan arti anggota tangan.
8. Perbedaan dan Persamaan
Tafsir dan Takwil
Ulama berbeda pendapat di dalam menjelaskan
perbedaan antara ta`wil dan tafsir. Tafsir
dan ta`wil, dengan segala
pengertiannya, merupakan usaha sungguh-sungguh untuk menemukan dan menjelaskan
makna-makna atau kehendak Allah dari firman-Nya.
Berikut
ini akan dikemukakan beberapa pendapat ulama.
a.
Menurut Abu `Ubadah, tafsir dan ta`wil adalah sinonim. Pendapat inlah yang masyhur di kalangan
ulama klasik.
b.
Menurut al-Raghib
al-Ashfihani, tafsir lebih umum daripada ta`wil,
tafsir biasanya digunakan di dalam
menjelaskan kosa kata (lafazh). Sedang ta`wil
dalam arti lafazh (makna). Tafsir sebagian
besardigunakan dalam kosa kata, sementara ta`wil
sering digunakan dalam menjelaskan kalimat (al-jumal).
c.
Al-Maturidiy
berpendapat, tafsir adalah bersifat
memastikan atau meyakinkan bahwa yang dikehendaki Allah adalah makna ini atau
makna itu. Sedangkan ta`wil,
mengunggulkan salah satu dari dua kemungkinan arti.
d.
Menurut Abu Thalib
al-Tsa`labi, tafsir adalah
menjelaskan makna lafazh; apakah makna hakikat atau makna metaforis?. Sedang ta`wil adalah menjelaskan arti yang
tersirat dari suatu lafazh.
e.
Sebagian ulama
menyatakan, tafsir adalah
interpretasi makna-makna yang diperoleh dari ungkapan kalimat (ibarat).
Sementara ta`wil adalah menjelaskan
makna-makna yang diperoleh melalui metode isyarah (isyarat)". Pendapat ini didukung oleh Imam al-Alusi dalam
tafsirnya. Ia mengaatakan ta`wil
adalah isyarah keTuhanan, dan
pengetahuan keTuhanan yang disingkap dari balik ungkapan kalimat oleh
orang-orang yang salik (menuju) pada Tuhan Allah.
f.
Menurut Abdul Wahhab
Khallaf, tafsir dam ta`wil memiliki persamaan, yaitu
sama-sama berusaha menjelaskan pesan-pesan yang dikehendaki Allah. Bedanya,
jika tafsir menggunakan dalil qath`iy
sehingga tidak menyisakan kesamaran lagi, maka ta`wil menggunakan dalil zhanniy
sehingga masih membuka peluang untuk dita`wil
atau dilakukan ijtihad kembali.
g.
Menurut al-Dzahabi, tafsir adalah penjelasan kehendak Allah
yang didasarkan pada dalil riwayat, baik riwayat dari Nabi atau para
sahabatnya. Sedangkan ta`wil adalah
penjelasan terhadap kehendak Allah yang didasarkan pada dirinya atau ijtihad.
0 komentar:
Posting Komentar